Minggu, 30 Januari 2011

KPK Buru Pemberi Suap

Ketua Komisi Pemberan- tasan Korupsi Busyro Muqoddas menegaskan akan terus memburu pelaku dalam perkara suap yang terkait dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004. Agar adil, pemberi suap lewat cek perjalanan harus ikut diproses.

”Untuk adilnya, memang harus ada unsur penyuap. Namun, kuncinya terletak pada bukti- bukti,” kata Busyro, Sabtu (29/1) di Jakarta, seusai berbicara dalam seminar yang diadakan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam.

Sebanyak 19 politisi, Jumat, ditahan KPK. Mereka bagian dari 26 tersangka penerima suap cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI 2004, yang dimenangi Miranda S Goeltom.
Busyro mengatakan, KPK masih mengumpulkan dan mendalami alat bukti yang dapat digunakan untuk menjerat orang yang berperan sebagai penyuap. ”Kalau alat buktinya sudah cukup, penyuapnya pasti sudah ikut ditahan bersama-sama dengan mereka yang ditahan kemarin (Jumat) itu,” tuturnya.

Ia membantah anggapan bahwa KPK ”tebang pilih” dalam menangani kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. ”Enggak ada tebang pilih. Enggak ada tekanan politik. Semuanya dilakukan berdasarkan alat bukti. Kami bekerja secara profesional serta terbuka,” kata Busyro.

Menyusul penahanan 19 politisi itu, KPK sebaiknya mewaspadai upaya perlawanan dari politisi prokoruptor. Perlawanan itu bisa terjadi dalam bentuk pemangkasan kewenangan, anggaran, upaya mempersoalkan kembali deponeering dua pemimpin KPK, dan sebagainya.

Seruan itu disampaikan Wakil Ketua Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho. ”KPK akan dihajar anggota Dewan Perwakilan Rakyat di setiap rapat dengar pendapat,” kata Emerson.
Sabtu kemarin, para tersangka yang ditahan KPK itu ditengok sejumlah petinggi negeri ini. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengaku meninjau kondisi Rutan Cipinang, tetapi juga menemui para tersangka. Pejabat lainnya, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono; Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hajriyanto Tohari; anggota Komisi III DPR, Ahmad Yani (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan); dan mantan anggota DPR, Happy Bone Zulkarnaen.

Agung Laksono mengaku menyerahkan penyelesaian perkara itu melalui mekanisme hukum. ”Betul-betul diusut tuntas, siapa dalangnya, siapa yang terlibat. Tentu saja diharapkan obyektif dan tak ada politisasi,” katanya.

Patrialis Akbar yang bertemu para tersangka berujar, ”Saya katakan supaya bersabar. Yang tabah saja.”

Dalam kasus itu, tak semua anggota Komisi IX atau Komisi Keuangan DPR periode 1999- 2004 diduga terlibat. Penjelasan itu diungkapkan mantan anggota Komisi IX DPR, Zulfan Lindan dan Hakam Naja, Sabtu. Keduanya menyampaikan keberatan atas tabel di halaman 3 (Kompas, 29/1) karena menggabungkan antara anggota Komisi IX DPR 1999-2004 yang tak terlibat perkara itu dan yang sudah dinyatakan sebagai tersangka atau telah diadili. Menurut Hakam, penggabungan itu tak adil dan bisa dianggap pembunuhan karakter.

Hakam dan Zulfan membantah terlibat kasus pemberian cek perjalanan. ”Dulu menjelang Pemilu 2009, data seperti ini sudah muncul dan saya sudah membantahnya,” kata Hakam.
Waktu pemilihan Deputi Gubernur Senior BI 2004, Hakam menjadi anggota Fraksi Reformasi, terdiri dari kader Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan. Tak ada anggota fraksi itu yang terduga menerima suap dalam pemilihan Miranda.

Zulfan, mantan anggota Fraksi PDI-P, menjelaskan, saat pemilihan Deputi Gubernur Senior BI 2004, ia bukan lagi anggota Komisi IX. ”Saya sudah tidak lagi di Komisi IX. Saya tak lagi memiliki hak pilih,” katanya.
Menurut dia, dirinya tak terlibat pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004. Anggota F-PDIP yang dipindahkan dari Komisi IX, sehingga juga tak terkait lagi kasus itu, adalah almarhum Sukowaluyo Mintoharjo dan Tjandra Wijaya. 
( disadur dari : kompas.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar