Sabtu, 05 Februari 2011

Wajah Amerika di Mesir


Amerika memang bermain di mana- mana. Kali ini permainannya di Mesir makin terkuak. Ketika Ben Ali jatuh di Tunisia dan disusul dengan pergolakan pemuda di Mesir, Amerika mulai khawatir.

Berbeda dengan ketika ada demo besar di Iran yang menentang Ahmadinejad, di mana pemerintah Obama dengan segera dan serta-merta mendukung pendemo, kali ini Amerika sangat lamban dan terkesan menunggu perkembangan situasi.

Setelah polisi dan aparat keamanan Mesir gagal menghambat pemrotes dengan kekerasan dan kemudian militer mengambil alih dengan lebih bijak, Amerika baru mengeluarkan pernyataan meminta Mubarak tidak menggunakan kekerasan dalam menghadapi gerakan massa disana. Pernyataan ini disusul dengan permintaan agar Pemerintah Mesir melakukan reformasi dan mengadakan dialog dengan rakyatnya.

Sebagaimana biasa, sekutu Amerika di Eropa, terutama Inggris, kemudian membeo dan meminta Mubarak agar mereformasi sistem pemerintahannya, bukan pemerintahnya. Belakangan, Departemen Luar Negeri Amerika membuat pernyataan yang lebih ”maju” lagi ketika Hillary Clinton meminta Mesir untuk melaksanakan proses transisi dengan tertib (orderly transition). Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan transisi.

”Desakan” Amerika ini segera diikuti dengan setia oleh Mubarak dengan, pertama, mengangkat orang dekatnya sebagai wakil presiden setelah 30 tahun negeri itu tidak punya wakil presiden. Kemudian, mengganti perdana menteri dan beberapa menteri lain, termasuk menteri dalam negeri yang membawahi aparat keamanan Mesir yang dikenal bengis.

Terakhir, setelah menyaksikan ketahanan dan semangat gerakan massa yang semakin meningkat dengan turunnya lebih dari sejuta pendemo pada hari Selasa, 1 Februari, Obama mengirim utusan khusus ke Mesir dan meminta Mubarak membuat pernyataan tidak akan maju lagi dalam pemilihan presiden di Mesir pada bulan September mendatang.

Permintaan Gedung Putih ini menyusul pernyataan Senator John Kerry yang meminta Mubarak bekerja sama dengan militer dan masyarakat madani untuk membentuk pemerintahan transisi. Hal ini mengingatkan kita pada upaya akhir Soeharto membentuk kabinet reformasi yang ditolak massa. Dengan serta-merta Mubarak menurut dan mengumumkan melalui televisi bahwa dia tidak akan maju lagi, tetapi berjanji akan menjaga keamanan dan penggantian pemerintahan sampai pemilu September nanti.

Taktik menunda

Sejak awal siapa pun dengan mudah dapat membaca sikap dan posisi Amerika. Ada kesan kuat bahwa satu per satu langkah Mubarak secara berurutan menunggu arahan dari Washington. Pemerintah Amerika yang dikejutkan dengan perkembangan cepat di Timur Tengah merasa kecolongan dan panik.

Obama dalam waktu seminggu terakhir berkali-kali mengadakan rapat-rapat darurat dengan berbagai pembantu utamanya untuk membahas situasi mutakhir di Mesir, seakan-akan seperti sedang membahas pemberontakan di Texas atau California.

Mubarak adalah sekutu setia Amerika dan Israel di Timteng yang telah berperan menciptakan ”kestabilan” dan memelihara perdamaian dengan Israel selama 30 tahun terakhir. Mubarak bahkan membantu Israel dalam upaya melemahkan Hamas, musuh utama Israel di Gaza.

Jatuhnya Mubarak akan menciptakan ketidakpastian bagi kepentingan Barat dan Israel. Belum lagi dibayang-bayangi dengan kekhawatiran kemungkinan munculnya Ikhwanul Muslimin pasca-Mubarak. Segala jalan harus ditempuh Amerika dan kawan-kawan untuk sebisa mungkin mempertahankan Mubarak. Bila ini tak mungkin, setidaknya Amerika perlu waktu untuk memengaruhi proses pergantian penguasa di Mesir. Satu-satunya jalan, ketika Mubarak sudah dalam posisi terpepet, adalah dengan melakukan taktik menunda.

Dengan demikian, Amerika berharap akan tampak berpihak kepada rakyat Mesir dengan meminta Mubarak tidak maju lagi dalam pemilu presiden mendatang. Yang sebenarnya bahwa Amerika dan sisa-sisa pendukung Mubarak di Mesir hanya sekadar membeli waktu untuk mengatur strategi berikutnya.

Langkah ini, menurut saya, sudah sangat terlambat. Rakyat Mesir tidak akan membeli tawaran terbaru Amerika. Mereka tidak terlalu bodoh untuk bisa membacanya. Jika Amerika memang tulus menghendaki kedaulatan rakyat di Mesir, mengapa baru sekarang mereka bertindak setelah terjadi pergolakan besar dan jatuh ratusan korban tewas serta ribuan cedera di kalangan rakyat?

Rakyat Mesir sekarang hanya mengenal satu kata ”irhal” (pergilah) bagi Mubarak yang berulang-ulang diteriakkan saat demonstrasi. ElBaradei, tokoh moderat Mesir dan mantan Ketua IAEA yang belakangan beroposisi terhadap Mubarak, menyatakan kecewa atas sikap Amerika yang plinplan. Wajah Amerika di Mesir sudah telanjur tercoreng. Tuntutan rakyat Mesir tidak kurang dan tidak lebih dari hengkangnya Mubarak dari tampuk kekuasaan Mesir.

Sikap Amerika yang bermuka dua ini bukanlah hal baru. Meneriakkan demokrasi sambil memelihara penguasa-penguasa otoriter di berbagai negara. Menganjurkan perdamaian sembari mengirim tentara untuk berperang di mana-mana dan menjual senjata ke mana-mana. Melarang Iran memiliki kekuatan nuklir, tetapi membiarkan Israel sebagai satu-satunya kekuatan nuklir di Timur Tengah. Mempromosikan kebebasan pers, tetapi mengebom kantor berita Al Jazeera di Baghdad dan melarang TV Al-Manar menjangkau Amerika. Memberikan sanksi terhadap negara-negara yang melanggar HAM, tetapi melanggar HAM berat sendiri baik di dalam maupun di luar negeri.

Bila dari kasus pergolakan di Timur Tengah yang tampaknya tidak ada titik baliknya ini Pemerintah Amerika masih tetap tidak mampu mengambil pelajaran berharga darinya dengan meninjau kembali politik luar negerinya untuk kepentingan nasional Amerika jangka panjang, maka merugilah rakyat Amerika yang berkali-kali memilih presiden dan wakil rakyatnya yang salah visi dan sekadar berorientasi politik jangka pendek.

( disadur dari : kompas.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar