Senin, 21 Februari 2011

Ngotot Batasi BBM Demi Pencitraan?



Pemerintah bersikeras pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi harus diberlakukan tahun 2011 ini. Kebijakan akan diberlakukan dari daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) terlebih dulu mulai April nanti. Selanjutnya pada 2013 diharapkan kebijakan ini sudah berlaku di seluruh Indonesia. 

Dengan diberlakukannya pembatasan BBM ini, maka semua kendaraan roda empat berpelat hitam dan merah akan dilarang mengkonsumsi BBM bersubsidi yakni premium dan solar. Hanya kendaraan roda dua, roda tiga, angkutan umum, yang masih diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi. 

Pembatasan BBM bersubsidi ini sebenarnya sudah diwacanakan pemerintah sejak 2010. Namun pelaksanaannya terus tertunda dengan berbagai alasan. Nah, tahun 2011 ini Menteri Keuangan Agus Martowardojo tidak ingin kebijakan ini ditunda-tunda lagi. Sebab jika rencana ini batal, maka anggaran subsidi BBM terancam membengkak Rp 3 triliun per tahun. 

Tahun 2011 anggaran subsidi BBM bahkan naik hingga Rp 3,9 triliun. Subsidi yang sebelumnya Rp 88,9 triliun di 2010, naik menjadi Rp 90,8 triliun tahun 2011 ini. Yang lebih bikin geregetan pemerintah subsidi yang jumlahnya triliunan itu justru dinikmati oleh orang yang salah. Data pemerintah sebanyak 75 persen subsidi BBM jatuh ke tangan orang yang mampu. 

Dengan alasan tersebut maka pemerintah ngotot akan membatasi BBM. Masalahnya, pemberlakuan kebijakan ini juga harus diikuti kesiapan infrastruktur. Fasilitas yang mempermudah ketersediaan BBM non subsidi (Pertamax) harus segera dibangun karena saat ini SPBU yang ada banyak yang belum memiliki tanki-tanki untuk menyimpan Pertamax. Saat ini jika kita keluar kota misalnya susah sekali untuk menemukan SPBU-SPBU baik milik Pertamina atau asing yang menjual BBM non subsidi.

Sementara itu, pengusaha SPBU masih ogah-ogahan menjual Pertamax karena butuh investasi yang mahal. Pengusaha tidak mau rugi bila sudah terlanjur menyiapkan sarana ternyata kebijakan tersebut batal. Data Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas  Bumi (Hiswana Migas), baru 25 persen dari 720 SPBU di Jabodetabek yang sudah melakukan pembenahan infrastruktur untuk bisa menjual Pertamax. 

Dengan kenyataan tersebut, apakah bisa SPBU mengebut membangun infrastruktur, sedangkan di sisi lain mereka mengaku kekurangan modal? Maka bila sarana belum siap, tapi April nanti tetap ngotot mewajibkan pemilik kendaraan roda empat plat hitam membeli Pertamax, bisa dibayangkan, antrean untuk mendapatkan Pertamax akan sangat panjang. Pertamax akan sangat langka dan susah dicari, lantas harganya akan melambung tinggi dan membuat susah para konsumennya. Pendek kata, semua akan menjadi kacau balau.

Selain masalah kesiapan yang minim, efektifkah pembatasan BBM bersubsidi? Banyak ahli perminyakan mengkritik pembatasan BBM tidak akan efektif. Uang yang dihemat dari pembatasan BBM itu tidak akan sebanding dengan ongkos politik dan psikologis yang timbul. Tentu akan menjadi percuma bila angka yang dihemat kecil sementara risiko politiknya begitu besar.

Bila dirunut, pemberian subsidi BBM sesungguhnya sudah salah sejak awal. Di dunia ini hanya Indonesia, Venezuela, Iran dan Arab Saudi saja yang memberikan subsidi BBM pada rakyatnya.Persoalannya, negara lain yang memberikan subsidi BBM memang memiliki persediaan minyak yang melimpah ruah. Sementara  Indonesia kini sudah menjadi pengimpor minyak. Memaksa memberi subsidi sungguh tidak logis dilakukan. Ditambah lagi mayoritas subsidi yakni 75 persen jatuh ke tangan orang yang salah. Maka sudah seharusnya dan tidak ada pilihan lain untuk menghapus subsidi alias menaikkan harga premium. Tentunya kenaikan harga harus dilakukan secara berkala agar jangan sampai menimbulkan gejolak.

Namun pemerintah ternyata saat ini tidak berminat untuk menghilangkan subsidi. Tentu kita sama-sama tahu masalah BBM selalu menjadi masalah sensitif bagi masayarakat dan pemerintah. BBM selalu tidak hanya terkait masalah ekonomi, tapi juga masalah politik. Mencabut subsidi tentu pemerintah akan dicap tidak populis, sehingga pemerintah akan babak belur panen kritikan dan hujatan. Menko Perekonomian Hatta Rajasa misalnya menyatakan pemerintah tidak mau dicap tidak punya hati dengan menaikkan harga BBM (Premium). 

Makanya pemerintah seolah mengambil jalan tengah yakni melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Harapannya, dengan pembatasan tersebut, citra pemerintah tetap melindungi rakyat kecil terjaga. Anggapannya toh yang dilarang membeli BBM bersubsidi orang-orang yang mampu. Rakyat kecil masih tetap dilindungi dan diberikan subsidi, demikian anggapan yang ingin dibangun.

Padahal di balik itu, solusi tersebut tidak menyelesaikan masalah. Pemerintah tetap saja harus membayar subsidi. Sementara uang yang ingin dihemat tidak seberapa. Pemerintah tidak rela subsidi bengkak hingga Rp 3 trilun setiap tahun. Coba bandingkan dengan pemborosan akibat kemacetan di Jakarta yang jumlahnya mencapai Rp 5 triliun setiap tahun. Seharusnya pemerintah bisa menutup defisit subsidi tersebut salah satunya dengan menghapus kemacetan misalnya. Masalahnya pemerintah, mungkin ingin cari mudah dan citranya terjaga.



( disadur dari : detiknews.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar