Sabtu, 15 Januari 2011

Pemerintahan SBY Makin Terpojok

JAKARTA--MICOM: Setelah para pemuka agama menyatakan pemerintah berbohong, kini giliran masyarakat dan para ahli yang turun tangan menelanjangi langsung ketidaksingkronan antara janji Susilo Bambang Yudhoyono dengan realitas yang ada. Tidak ada lagi ruang buat Presiden untuk mengelak.

Bertempat di Kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jumat (14/1), Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Anti Kebohongan menggelar diskusi rutinnya untuk kali keempat.



Jika pada pertemuan sebelumnya di Kantor PP Muhammadiyah, 10 Januari lalu, hadir para pemuka agama, kini giliran masyarakat yang melontarkan pendapatnya mengenai kebohongan pemerintahan SBY-Boediono.

Hadir di antaranya Sumarsih (ibunda almarhum korban kekerasan 1998, Wawan), pengamat ekonomi Hendri Saparini, ahli hukum JE Sahetapy, peneliti Sukardi Rinakit. Demnikian juga tampak hadir aktivis ICW yang menjadi korban pembacokan Tama S Langkun, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, dan Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi.

Berbeda dengan tiga pertemuan sebelumnya, acara kali ini dihadiri Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparingga. Kedatangan Daniel tidak menyurutkan langkah para peserta diskusi untuk melancarkan kritik. Justru menjadi semakin membuka ruang untuk menyampaikan berbagai hal yang tidak pas dengan klaim Presiden. Raut wajah Daniel terlihat begitu tegang selama kegiatan berlangsung meski moderator Effendi Gozali memintanya untuk lebih santai.

Sri Palupi mengatakan, pemerintahan kali ini bukan saja melakukan kebohongan publik. Bahkan telah melakukan kebohongan sistematis dengan mengklaim sejumlah keberhasilan namun tidak pernah membeberkan kepada publik kegagalan yang terjadi.
"Ketika Presiden menyampaikan bahwa Indonesia masih dalam 18 negara dengan ekonomi kuat, ia tidak mengumumkan Indonesia juga masuk kategori negara dengan tingkat kelaparan yang serius," kata Sri.

Ia menambahkan, turunnya angka kemiskinan diukur melalui garis kemiskinan yang menggunakan satuan yang terlalu kecil. Seperti Jakarta Rp331.169/kapita/bulan dan Jawa Tengah Rp192.435/kapita/bulan. Ini membuat penduduk yang berpenghasilan Rp1 di atas garis kemiskinan sudah dinyatakan tidak miskin. "Cara ini membuat konsekuensi orang sekedar tidak lapar atau tidak mati," ujarnya.

Hendri Saparini mengatakan, klaim keberhasilan ekonomi tidak pernah dirasakan oleh masyarakat karena pemerintah menggunakan paradigma neoliberal dalam menganalisis data. Contohnya adalah angka pengangguran yang berpendidikan Sekolah Dasar ke bawah hanya 4% dan pengangguran yang berpendidikan Perguruan Tinggi ke atas 12%.

"Karena pengangguran yang berpendidikan Perguruan Tinggi lebih besar dari pada yang berpendidikan SD ke bawah, pemerintah merasa tidak perlu untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Sebab, paradigma neoliberal menanggap para pengangguran yang berpendidikan Perguruan Tinggi sudah mampu untuk menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri," jelasnya.

Kritik atas kebohongan pemerintah tidak hanya dilancarkan para pengamat ekonomi. Masalah lingkungan hidup juga menjadi sorotan. Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad mengatakan, SBY tidak memenuhi janjinya saat berkampanye pada Pemilu 2009 untuk mengkaji secara mendalam kasus Lapindo. "Kalau memang sudah dikaji apa hasilnya? Kenapa publik tidak pernah diberi tahu," ujarnya.

"Tawaran dari Presiden untuk berdialog dengan menteri-menteri terkait sebenarnya percuma untuk dilakukan. Itu sering dilakukan tapi tidak ada hasilnya. Bahkan, Menteri Kehutanan (Zulkifli Hasan) harus menarik ucapannya tentang bencana Wasior diakibatkan perusakan hutan karena Presiden mengeluarkan pernyataan yang berbeda," tegasnya.

Kebohongan di bidang kemanusiaan juga diungkap di forum tersebut. Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menagih janji Presiden yang akan memulangkan jenazah Tenaga Kerja Wanita asal Cianjur Yanti Irianti binti Kardi yang dihukum mati di Riyadh, Arab Saudi, 12 Januari 2008.

Menurut Anis, SBY dalam pidatonya 16 Februari 2008 berjanji akan memulangkan jenazah almarhumah Yanti. Namun, hingga tiga tahun berselang, janji itu tidak pernah direalisasikan. Anis menambahkan, pihaknya memiliki bukti rekaman soal pernyataan SBY tersebut.

"Pemerintah berjanji memperjuangkan agar Yanti tidak dihukum mati. Namun karena gagal, Presiden kemudian berjanji akan berusaha memulangkan jenazah almarhum ke Tanah Air. Sampai sekarang, janji itu tidak pernah dilaksanakan. Kami sungguh kecewa," ungkap Anis.

Aktivis ICW Tama juga mempertanyakan janji SBY yang akan mengungkap pelaku pembacokan atas dirinya. Penganiayaan yang terjadi 8 Juli 2010 itu diduga kuat terkait rekening gendut para jenderal polisi yang diungkap ICW. Dua hari kemudian, Presiden menjenguk Tama dan sempat dijanjikan untuk membantu pengungkapan kasus rekening gendut para jenderal. "Tapi, janji tinggal janji. Bahkan dua Kapolri yakni Bambang Hendarso Danuri dan Timur Pradopo tidak pernah lagi membuka kasus ini," imbuhnya.
( disadur dari : mediaindonesia.com )

1 komentar:

  1. Kebohongan demi kebohongan semakin terkuak, masihkah mereka membantahnya ??????

    BalasHapus