Jumat, 21 Januari 2011

Opera Van TOMOHON.

Negeri ini tak pernah kehabisan peristiwa komikal. Salah satu yang menggelikan adalah penobatan Wali Kota Tomohon, Jefferson Soleiman Rumajar. Dia tetap dilantik kendati beberapa hari sebelumnya telah diadili dalam kasus korupsi anggaran pendapatan dan belanja daerah yang merugikan negara sampai Rp 19,8 miliar.


Jefferson sudah meringkuk di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta, sejak tiga bulan lalu. Komisi Pemberantasan Korupsi mengizinkan dia keluar dari terungku untuk dilantik di gedung Kementerian Dalam Negeri, dua pekan lalu. Disaksikan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tomohon yang diboyong ke Jakarta, Jefferson dinobatkan sebagai wali kota oleh Gubernur Sulawesi Utara.
Opera politik itu kemudian dilanjutkan ke Cipinang sehari berselang, sekaligus memunculkan adegan yang lebih satire. Di dalam penjara, giliran Jefferson melantik 28 bawahannya. Terdakwa korupsi ini mengambil sumpah anak buahnya. Atas nama kitab suci, ia meminta bawahannya bersumpah antara lain tak akan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Empat hari Jefferson menyandang predikat wali kota. Senin, 10 Januari, KPK mengirim surat penetapan status orang nomor satu Tomohon ini sebagai terdakwa. Status inilah yang membuat Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi meneken surat penonaktifan sang wali kota. Langkah ini telat karena, begitu Jefferson diadili, ia sebenarnya bisa langsung diberhentikan karena otomatis sudah menjadi terdakwa.
Benar, secara legal formal, tak ada yang salah dalam pelantikan Jefferson. Ketika sudah jadi tersangka korupsi, politikus Partai Golkar ini menang dalam pemilihan kepala daerah, untuk masa jabatan kedua, pada Juli 2010. Kemenangan ini pun dikuatkan Mahkamah Konstitusi, setelah adanya sengketa penghitungan suara dengan kandidat lain. Tapi publik tetap risi melihat tersangka tetap dicalonkan sebagai wali kota, bahkan akhirnya dilantik ketika telah jadi terdakwa.
Undang-Undang Nomor 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak melarang seorang tersangka mencalonkan diri jadi kepala daerah. Setelah menjabat kepala daerah, ia pun baru bisa dinonaktifkan ketika sudah berstatus terdakwa. Aturan formal ini cenderung mengabaikan etika pemerintahan. Jika aturan tentang penonaktifan kepala daerah sulit diubah karena telah dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi, mestinya syarat pencalonan kepala daerah diperketat.
Partai-partai seharusnya pula tak sembarangan mengusung calon kepala daerah. Jangan membodohi masyarakat dengan menyodorkan calon yang busuk. Bagaimanapun kepala daerah merupakan orang nomor satu di wilayahnya. Dia harus menjadi teladan bagi aparatur pemerintah dan rakyatnya. Sulit dibayangkan pula figur yang terjerat kasus korupsi mampu mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih.
Kami prihatin karena pemilihan kepala daerah justru sering melahirkan pemimpin yang berintegritas buruk. Indonesia Corruption Watch mencatat, selain Jefferson, sepanjang 2010 ada delapan kepala daerah yang diduga terlibat korupsi tapi terpilih lagi. Mereka tersebar dari Blitar, Jember, Rembang, Bengkulu, sampai Kepulauan Aru.
Bayangkan betapa repot pemerintah dan rakyat di daerah yang wali kota atau bupatinya dihentikan di tengah jalan karena menjadi terdakwa. Biaya pemilihan yang mahal menjadi sia-sia. Belum lagi jika dihitung hilangnya kesempatan bagi kandidat yang lebih baik dan tersingkir di arena pemilihan.
( disadur dari : tempointeraktif.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar