Kamis, 13 Januari 2011

Hanya Gayus Boleh Berbohong

SISTEM hukum kita membolehkan seorang tersangka berbohong atau tidak menjawab yang benar. Dengan sistem itu, adalah tugas jaksa dan polisi untuk membongkar kebohongan seorang penjahat.

Dalam kasus Gayus Tambunan yang mengguncang dan memalukan, kesulitan justru muncul ketika terjalin simbiosis kebohongan. Ini negara yang tidak dikuasai secara formal oleh mafia yang piawai siasat dan kebohongan, tetapi ini pula negara yang lembaga antimafia berdiri secara formal. Artinya negara sesungguhnya memerangi kebohongan.



Logika polisi mengusut dan merumuskan kejahatan Gayus ke dalam tindak pidana yang bisa dihukum, jelas aneh. Gayus yang menerima suap ratusan miliar rupiah dari ratusan pengemplang pajak korporasi hanya dijerat pasal pemalsuan dokumen dan suap. Gayus sebagai penerima suap diadili sebagai Gayus pemberi suap.

Gayus memahami betul keleluasaan untuk berbohong. Dia memahami betul sedang berhubungan dengan institusi yang mudah dibohongi. Karena itu dia membuktikan dengan amat gampang pesiar ke luar negeri dan ke Bali sebagai seorang terdakwa yang sedang disidang dan ditahan.

Absurditas dalam kasus Gayus sudah keterlaluan. Itulah yang belakangan ini menimbulkan kegeraman publik. Semakin hari semakin banyak orang berbicara, tetapi kebenaran itu semakin tersembunyi.

Publik pun semakin terperangah ketika Ketua Komisi III DPR Beny Harman mengungkap apa yang dia dengar dari mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri tentang kerumitan kasus Gayus. Menurut BHD, seperti dikutip Beny, polisi tidak bisa membongkar tuntas kasus Gayus karena kalau itu dilakukan akan mengguncang negara. Ada ketakutan dampak sistemik dari kasus Gayus karena melibatkan orang kuat secara ekonomi dan politik.

Ketika sadar ungkapannya amat berbahaya, Beny pun meralat ucapannya. Siapa yang benar? Ketika seorang Ketua Komisi III DPR bisa begitu gampang mencabut omongannya, bagaimana publik percaya dengan keputusan komisi ini membentuk Panja Pemberantasan Mafia Hukum?

Tetapi pemerintah tiba-tiba alergi dengan kata bohong. Menko Polhukam Djoko Suyanto agak emosional menanggapi tudingan tokoh-tokoh agama yang menganggap pemerintah telah berbohong atas nama rakyat. Pernyataan tokoh-tokoh agama itulah yang diangkat dalam ruangan ini kemarin.

Seluruh diskursus yang menimbulkan kepercayaan maupun keraguan, sukses atau gagal, jujur atau bohong dalam seluruh mekanisme berbangsa dan bernegara, menjadi perdebatan publik karena kita menganut demokrasi. Demokrasi membuka luas partisipasi publik, kritik dan saran.

Demokrasi tidak hidup di negara yang antikritik. Demokrasi tidak hidup di sebuah negara yang para pemimpinnya berkuping tipis. Kalau sejumlah pemimpin akhirnya mengatakan pemerintah berbohong, ditambah dengan kasus Gayus, itu adalah sebuah refleksi telanjang tentang integritas. Rakyat terlalu gampang menyaksikan perbedaan apa yang dikatakan pemimpin dengan apa yang diperbuatnya.

Bila kita sudah susah menyebut kata bohong, berarti itu adalah kemenangan seorang Gayus lagi. Karena di Republik ini hanya Gayus yang boleh berbohong.
( disadur dari : mediaindonesia.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar