Senin, 31 Januari 2011

Negara Dikelola dengan Manajemen Bingung



Dibatalkannya perubahan tarif kereta api (KA) kelas ekonomi oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, merupakan bukti kuat bahwa saat ini Indonesia memang dikelola dengan model manajemen 'BINGUNG'.  Selain bingung memutuskan bagaimana menangani suatu kasus,  juga bingung mengelola dan menangani protes publik yang muncul.

Mulai dari tingkat aparat Pemerintah terendah, yaitu Camat sampai pemimpin daerah dan nasional  semua bingung. Ini berakibat pada terhentinya beberapa program infrastruktur, seperti pembangunan jalan dan jembatan, pembangkit listrik, pelabuhan, bandara dan sebagainya yang diharapkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Daerah bukannya menggiatkan pembangunan infrastruktur dengan dana APBD dan DAU tetapi memarkirkan dana mereka ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Bingung kali ini terjadi ketika Pemerintah membatalkan 'kenaikan' tarif KA ekonomi dengan munculnya Surat Keputusan (SK) Menteri Perhubungan yang membatalkan SK Menteri Perhubungan Nomor KM 35 Tahun 2010 tanggal 23 Juni 2010 tentang tarif angkutan orang dengan kereta api kelas ekonomi dan peraturan Menhub Nomor KM 48 Tahun 2010 tentang perubahan atas peraturan Menteri Perhubungan tadi tanggal 4 Agustus 2010.

Selain persoalan kebijakan tarif KA, persoalan pengurangan subsidi BBM pun yang sudah setahun ini dibahas namun tak kunjung selesai (terakhir akan diputuskan bulan Maret 2011)  juga sebuah contoh lain dari manajemen bingung Pemerintah Indonesia.  

Terkait dengan persoalan tarif KA ekonomi, publik harus tahu bagaimana kebijakan itu diambil dan siapa yang paling bertanggung jawab. Regulator (Kementrian Perhubungan) atau operator (PT KAI) ? Apa dasar hukumnya ? Mari kita bahas singkat, padat, tapi jelas.

Cerita Singkat Regulasi Kereta Ekonomi

Publik perlu mengetahui bahwa  UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian  Pasal 151 ayat (2) menyatakan bahwa : "Pedoman tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah". Jadi tarif KA ekonomi harus ditetapkan melalui pedoman tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah, bukan PT KAI.

Sementara itu Pasal 151 ayat (3), menyatakan bahwa  : "Pedoman penetapan tarif angkutan berdasarkan perhitungan modal, biaya operasi, biaya perawatan, dan keuntungan" dan Pasal 152 ayat (1) juga menyatakan: "Tarif angkutan orang ditetapkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dengan memperhatikan pedoman tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2)."

Jelas bahwa PT KAI hanya melakukan perhitungan sesuai kebutuhan untuk mengoperasikan KA ekonomi dengan baik, termasuk sedikit keuntungan operasi. Selanjutnya hitung-hitungan ini diserahkan pada Pemerintah untuk ditetapkan sebagai pedoman tarif KA ekonomi. Jika Pemerintah tidak menyetujui perhitungan PT KAI, dapat saja Pemerintah meminta PT KAI menghitung ulang.

Selanjutnya UU No. 23 tahun 2007 Pasal 153 ayat (1)  juga menyatakan bahwa : "Untuk pelayanan kelas ekonomi, dalam hal tarif angkutan yang ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2) huruf a" lebih rendah daripada tarif yang dihitung oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berdasarkan pedoman penetapan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah, selisihnya menjadi tanggung jawab Pemerintah atau Pemerintah Daerah".

Jadi jika subsidi yang diberikan oleh Pemerintah lebih rendah dari perhitungan yang dibuat oleh PT  KAI, maka PT KAI tidak boleh menaikkan tarif, tetapi sesuai perintah Pasal 153 ayat (1), Pemerintah harus memberikan tambahan subsidi. Jadi kalau selama ini isu yang ditiupkan melalui media bahwa PT KAI akan menaikkan tarif KA ekonomi, jelas-jelas Pemerintah melanggar UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian,khususnya Pasal 153 Ayat (1).

Keterangan Juru Bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan di beberapa media yang menyatakan bahwa Presiden SBY menginstruksikan Menteri Perhubungan untuk menunda kenaikan tarif setelah melihat perkembangan dari masyarakat bahwa PT KAI harus melakukan pembenahan secara serius sebelum melakukan kenaikan tarif, menyesatkan. Tidak ada kenaikan tarif. Yang ada, Pemerintah enggan menambah subsidi, seperti yang diatur Pasal 153 ayat (1) tersebut.

Langkah Yang Harus Dilakukan

Pertama, sampaikan pada publik perhitungan PT KAI terkait dengan tarif KA ekonomi dan berapa angka yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam Pedoman Tarif. Jika angka yang ditetapkan oleh pemerintah dalam pedoman tarif besarannya lebih rendah dari hasil perhitungan PT KAI, mengapa Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif KA ekonomi, bukannya menambah subsidi ?

Kedua, Pemerintah harus menyampaikan pada publik, Standar Pelayanan Minimum (SPM) kereta api ekonomi secepatnya. Jika SPM belum ada harus segera dibuat. Ketiga, PT KAI dilarang menaikkan tarif KA ekonomi karena itu bukan kewenangan PT KAI dan jika itu tetap dilakukan, maka  PT KAI melanggar UU No. 23 tahun 2007. 

Keempat, jika subsidi Pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan PT KAI yang tercantum dalam pedoman tarif, maka PT KAI harus mengurangi saja frekuensi perjalanan KA ekonominya, daripada harus terus merugi dan pelayanan pada konsumen juga terus memburuk.

Jika Menteri Perhubungan tidak bisa melaksanakan perintah UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan menyampaikan pada publik dengan baik, maka sebaiknya bersiap-siap untuk mundur saja. Saya usulkan pada Presiden SBY dan Kepala UKP4 agar persoalan ini menjadi salah satu hal penting dalam mengevaluasi kinerja Kementrian Perhubungan. 

 ( disadur dari : detiknews.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar