Jumat, 21 Januari 2011

Habis Sampah Terbitlah Dioksin

BENTANGAN spanduk berseliweran di muka Perumahan Griya Cempaka Arum, Gedebage, Kota Bandung. "Maaf, ketenteraman terganggu ambisi wali kota membangun PLTSa," tertulis dalam satu spanduk. Di bentangan kain lain tertulis, "Langit bandung bersih, tolak PLTSa".


"Sampai kapan pun kami akan tetap menolak pembangunan PLTSa," kata Sonya Rosalina, 38 tahun, warga Griya Cempaka Arum, pekan lalu. Walaupun namanya pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), sesungguhnya itu bukan benar-benar pembangkit listrik. Yang akan dibangun sekitar 500 meter dari Perumahan Griya Cempaka adalah instalasi pengolahan sampah dengan teknologi pembakaran atau insinerator. Uap panas yang dihasilkan mesin pembakar sampah inilah yang dipakai untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik.
Namanya sampah, tentu warga Griya Cempaka tak dengan sukacita menyambut rencana pembangunan pengolahan bahan buangan Kota Bandung di dekat tempat tinggalnya. Mereka juga takut pembakaran sampah akan menghasilkan asap dan gas yang membahayakan kesehatan.
Kota Kembang memang tak selalu seharum namanya. Selama beberapa tahun ini malah berulang kali bau busuk yang tercium di jalanan Kota Bandung. Pertengahan Desember lalu, misalnya, gunungan sampah membusuk di seluruh penjuru kota. Sampah membukit tak terangkut gara-gara jalan menuju tempat penimbunan sampah di Desa Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, diblokade warga. Lima tahun lalu, peristiwa serupa terjadi karena penimbunan sampah Leuwigajah ditutup.
Berulang kali terbenam urusan sampah, Wali Kota Bandung Dada Rosada tak sabar lagi. Dengan volume sampah dibuang warga Bandung setiap hari 1.800 ton, menurut Dada, metode pembakaranlah yang akan menuntaskan urusan barang busuk ini. Maka dia terus melaju dengan rencana pembangunan pengolahan sampah berteknologi insinerator.
Dada pun tak terlalu risau dengan protes sejumlah warga seperti Sonya. "Yang menolak tinggal sedikit," ujar Dada, beberapa waktu lalu. "Dan demi Allah, demi warga Bandung, saya tak akan mundur. Saya bertanggung jawab lahir dan batin." Dada meyakinkan, teknologi pembakaran sudah teruji di pelbagai negara dan aman bagi lingkungan.
Namun warga seperti Sonya tak gampang ditundukkan dengan sekadar ucapan. "Jarak antara lokasi pengolahan sampah dan rumah warga sangat dekat. Bohong jika teknologi ini dikatakan bebas polusi," kata Sonya.


l l l
Mengolah atau memusnahkan sampah memang tak pernah segampang membuangnya. Apalagi jika sampah ini dalam jumlah ratusan atau ribuan ton seperti yang dihasilkan Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan kota-kota besar di Indonesia. Megapolitan seperti Jakarta setiap hari membuang 6.000 ton sampah rumah tangga, pusat perdagangan, ataupun perkantoran. Kota Surabaya, menurut Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Hidayat Syah, setiap hari mengirim 1.260 ton barang busuk ke tempat pembuangan Benowo.
Selama ini jutaan ton sampah itu ditimbun begitu saja hingga berbukit-bukit. Bau busuk mengalir sampai jauh. Air tanah sekitar penimbunan sampah pun tercemar air sampah atau lindi. "Memang inilah metode yang paling gampang dan paling murah," kata Djoko Heru Martono, peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Ada tiga teknologi utama yang dipakai untuk mengolah sampah, yakni penimbunan, pembakaran, dan pengomposan. Di beberapa negara, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, metode penimbunan (landfill) masih populer. Penduduk negeri David Beckham ini membuang sampah ke penimbunan sekitar 25 juta ton per tahun. Tentu saja, di negeri seperti Amerika Serikat, sampah tidak asal dibuang dan ditimbun. Metode penimbunannya sudah jauh lebih maju, biasa disebut sanitary landfill. Teknologi ini sudah mulai dipakai di Bantar Gebang dan Sumur Batu, Bekasi. Karena sampah yang ditimbun jumlahnya ekstrajumbo, cara ini perlu lahan luas.
Negara dengan wilayah tak seluas Amerika Serikat ataupun Indonesia, seperti Singapura, Denmark, Belanda, dan Jepang, memilih metode pembakaran. Saking banyaknya mesin pembakar sampah di Jepang, stasiun televisi ABC menjulukinya negeri insinerator. Di Jepang, ada lebih dari 1.800 mesin pembakar sampah.
Tak mudah menentukan mana teknologi pengolah sampah yang paling unggul. "Masing-masing ada plus-minusnya," kata Nusa Idaman Said, peneliti lingkungan di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Teknologi pembakaran sangat efektif dan cepat memangkas volume sampah. "Sisa pembakarannya hanya tinggal sepuluh persen." Cara ini juga tak perlu lahan yang jembar. Tapi investasinya sangat mahal.
Djoko menghitung, untuk setiap ton sampah yang hendak dibakar, perlu investasi minimal Rp 800 juta. Artinya, jika berat sampah yang disorongkan ke tungku pembakaran 1.000 ton per hari, perlu mesin seharga Rp 800 miliar. Angka itu bisa membengkak jika menggunakan teknologi insinerator yang lebih canggih. "Seperti beli motor, tinggal pilih mau Honda atau motor Cina," Djoko terbahak. Bandingkan dengan metode sanitary landfill, yang hanya butuh modal Rp 3 miliar per hektare. Jadi, seandainya hendak membangun tempat pengolahan sampah yang mirip Bantar Gebang seluas 110 hektare, hanya perlu duit Rp 330 miliar.


l l l
Sebelum melaju dengan niatnya, Dada Rosada sepertinya perlu belajar dari pengalaman Surabaya. Kota Buaya ini punya pengalaman mengoperasikan mesin pembakar sampah. Namun mesin ini hanya hidup sangat singkat. Bekerja sama dengan PT Unicomindo Perdana, Pemerintah Kota Surabaya mendatangkan enam unit insinerator pada 1998 dengan harga US$ 18,62 juta. "Kapasitasnya kecil, hanya 300 ton per hari," kata Djoko Heru, yang kala itu diminta menjadi konsultan.
Mesin pembakar yang dioperasikan di tempat pembuangan sampah Keputih itu hanya beroperasi tak lebih dari setahun. "Warga sekitar Keputih protes terus," kata Hidayat Syah, Kepala Dinas Kebersihan Surabaya. Mesin yang kabarnya bersih polusi itu ternyata tak sesuai dengan yang dijanjikan. "Bau gas buangnya masih menyengat." Asap yang keluar dari cerobong pun masih banyak mengandung gas pencemar karbon dioksida.
Soal gas pencemar inilah yang selalu menghadang operasi insinerator. Pembakaran sampah memang menghasilkan sejumlah gas pencemar udara seperti karbon dioksida dan nitrogen oksida (NOx). Tapi momok insinerator adalah gas dioksin atau poliklorin dibenzodioksin dan furan atau poliklorin dibenzofuran. Dua gas itu bersifat karsinogenik dan memicu mutasi sel dalam tubuh manusia. Dioksin dan furan dihasilkan dari pembakaran material yang mengandung klorin seperti plastik dan PVC.
Ketua tim pengkaji proyek Gedebage dari Institut Teknologi Bandung, Ari Darmawan Pasek, menjamin teknologi insinerator saat ini sudah bisa menyaring gas pencemar dan beracun itu hingga jumlahnya tak lagi berbahaya. "Teknologinya sama dengan yang di Eropa ataupun Cina," kata Ari. Di mulut pembuangannya akan dipasang sensor untuk terus memantau kualitas gas buang dari insinerator. Bahkan, menurut Soenaryo Yoseph, Direktur Utama PT Bandung Raya Indah Lestari, salah satu penyokong insinerator, "Polusi dari rokok dan mobil masih lebih besar daripada insinerator."
Nusa Idaman ataupun Djoko Heru juga mengatakan masalah dioksin-furan ataupun gas pencemar lain, baik dengan teknologi pembakaran maupun penimbunan, semuanya sudah bisa diatasi. Ada rupa-rupa cara untuk mengatasi dioksin. Daewoo, perusahaan Korea Selatan, menjanjikan penyaring dual bag miliknya bisa mengurangi kandungan dioksin hingga 99 persen. W.L. Gore menjanjikan penyaring katalitiknya bisa mengurangi dioksin hingga 90 persen. "Tinggal sanggup bayar atau tidak," kata Nusa.
( disadur dari : tempointeraktif.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar