Senin, 07 Februari 2011

KPK Lebih Melayani Penguasa?



Setelah pertarungan dengan Mabes Polri dan Kejaksaan Agung mereda, kini KPK menghadapi lawan baru: Komisi III DPR, yang tak lain adalah kaki tangan partai politik. Pertarungan dimulai Senin (31/1/2011) lalu, ketika Komisi III menolak kehadiran Wakil Ketua KPK Bibit Rianto dan Chandra M Hamzah. Keduanya dianggap berstatus tersangka sehingga tidak pantas rapat bersama DPR.

Dua pimpinan KPK itu memang sempat berstatus tersangka dalam kasus mafia hukum yang melibatkan Anggoro dkk. Semula Mabes Polri dan Kejaksaan Agung menduga Bibit dan Chandra menerima suap. Namun belakangan disebut sebagai pihak yang menyalahgunakan wewenang.

Perdebatan panjang, tekanan publik serta putusan pengadilan yang tidak sesuai harapan, memaksa Kejaksaan Agung mendeponeer kasus itu. Bibit dan Chandra pun kembali bekerja sebagai pimpinan KPK.

Bagi sebagian anggota Komisi III DPR, pendeponeeran kasus bukan berarti pelepasan status tersangka Bibit dan Chandra. Oleh karena itu, demi menjaga kehormatan DPR, mereka menolak menerima keduanya dalam Rapat Kerja Komisi III dan KPK.

Sebagian anggota Komisi III memang tidak menerima argumentasi penolakan Bibit dan Chandra, yang dilontarkan oleh anggota Fraksi Partai Golkar, PDIP dan PKS. Namun dalam voting mereka kalah, sehingga putusan itu dianggap sebagai putusan resmi Komisi III DPR.

Tidak sulit mencari sebab, mengapa Komisi III DPR mengambil putusan akal-akalan itu. Jelas sekali, hal ini terkait dengan peristiwa Jumat (28/1/2011). Pada hari itu KPK menangkap sejumlah anggota dan mantan anggota dewan yang menjadi tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom. Mereka dijebloskan ke penjara.

Penolakan Komisi III DPR terhadap KPK tidak saja mencerminkan sikap solidaritas sesama anggota dewan, tetapi juga merupakan serangan balik DPR terhadap KPK yang gencar melibas para politisi, baik yang menjadi anggota DPR/DPRD maupun menteri/kepala daerah, yang terlibat korupsi.

Tindakan ini juga menunjukkan kekhawatiran pimpinan partai politik atas sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi, yang cepat atau lambat akan mengenai mereka. Jika pun mereka tidak sampai menjadi tersangka, tindakan KPK setidaknya akan mempersulit mereka dalam mendapatkan dana politik yang selama ini disabet dari proses pengambilan keputusan yang melibatkan DPR/DPRD.

Namun KPK juga tidak bisa tutup telinga atas tudingan para politisi, bahwa KPK tebang pilih dalam menangani perkara korupsi. Lembaga ini membiarkan kasus-kasus yang melibatkan politisi Partai Demokrat (PD), seperti kasus tukar guling hutan lindung untuk pelabuhan yang melibatkan Wakil Ketua Umum I PD Jhonny Allen Marbun dan kasus pembelian alat-alat kesehatan yang melibatkan Wakil Ketua Umum II PD Max Sopacua.

Sebaliknya, KPK bersemangat memburu kasus-kasusyang melibatkan partai lain, terutama Partai Golkar dan PDIP, seperti dalam kasus suap pemilihan DGS BI ini. PDIP dikenal sebagai partai oposisi, sementara Partai Golkar meskipun tergabung dalam partai pemerintah, namun sikap kritisnya sering menyulitkan Presiden dalam mengambil keputusan.

Tindakan KPK memenjarakan para tersangka penerima suap dalam pemilihan DGS BI juga aneh, karena justru pemberi suapnya dibiarkan begitu saja. Miranda S Goeltom yang secara logika menjadi pihak yang paling berkepentingan, dibiarkan hidup bebas. Demikian juga dengan Nunun Nurbaeti, yang disebut-sebut di persidangan sebagai pihak yang memberikan uang suap, juga tidak disentuh oleh KPK.

Demikian sulitkah untuk menangkap dua perempuan itu? Tentu saja tidak, karena KPK memiliki banyak akses untuk bisa menjamahnya. Apa barang bukti dan kesaksian tidak cukup untuk menjebloskan mereka ke penjara? Tidak juga, mengingat proses persidangan kasus ini sudah jelas menunjukkan peran penting mereka.

Latas mengapa KPK tidak segera menangkapnya? Sekali lagi, politik tebang pilih tampak dijalankan KPK. Belakangan beredar spekulasi, bahwa ketidakseriusan KPK dalam mengusut Miranda dan Nunun terkait dengan skandal Bank Century. Miranda disebut-sebut memiliki kartu truf untuk membuka skandal Bank Century, sehingga jika dia dijebloskan jadi tersangka, maka skandal Bank Century yang kini terkendali, akan liar kembali.

Jika spekulasi itu benar, maka tidak salah bila muncul anggapan bahwa KPK lebih memilih melayani keinginan kekuasaan daripada mengemban misi memberantas korupsi. KPK tentu membantah tudingan ini. Namun tidak bisa dipungkiri, pengalaman buruk KPK ketika "dikerjain" Mabes Polri dan Kejaksaan Agung telah menimbulkan trauma luar biasa, sehingga layanan kepada kekuasaan memang tidak bisa diabaikan begitu saja.


( disadur dari : detiknews.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar