Senin, 07 Februari 2011

Awas, 2011 Perekonomian Indonesia Bisa Tergilas ! (Sri Mulyani dapat fee 1% dari IMF ?)


Awal tahun ini Food and Agriculture Organization (FAO) atau Badan Pangan dan Pertanian dunia yang bernaung di bawah PBB mengeluarkan ‘warning’ tentang ancaman kerawanan pangan dunia.
Hal ini didasarkan pada catatan badan tersebut akan melonjaknya indeks harga pangan dunia yang melonjak sebesar 3,4 persen pada bulan Desember sampai Januari, dan merupakan indeks lonjakkan tertinggi sejak tahun 1990.

Sementara data di Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan kenaikan harga komoditi pangan yang signifikan sejak Desember tahun lalu. Sebut saja harga beras yang naik sebesar 30,9%, telur 9,82%, minyak goreng 9,89%.

Dari beberapa indeks ini saja kita dapat menganalisa bahwa inflasi tinggi tak dapat dihindari pada awal tahun ini.
Akibat dari inflasi ini juga mengoreksi harga komoditi pertanian lainnya seperti jagung 32%, gula 37% dan kopi yang mencapai 80%.

Di tambah lagi rencana kenaikan BBM (dampak kenaikan harga minyak dunia), pembatasan subsidi BBM dan pencabutan batas atas tarif listrik untuk industri yang akan semakin berdampak pada kenaikan inflasi.
Langkah pemerintah dalam pembebasan 57 pos tarif bea masuk komoditi pangan tahun ini bukan solusi dalam mengantisipasi ‘ketahanan pangan’ dalam negeri.

Seharusnya langkah tersebut segera diimbangi dengan optimalisasi produksi dalam negeri sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan produksi dalam negeri terutama sektor komoditi pangan yang selama ini lebih diatasi dengan impor.

Kita tengok saja ketergantungan impor kita semisal susu 90% (dari kebutuhan), gula 30%, garam 50%, gandum 100%, kedelai 70%, daging sapi 30%.
Selain itu induk ayam dan telurpun sebagian kita masih tergantung pada impor.
Padahal selain gandum dari beberapa komoditi diatas pemerintah bisa lebih mengoptimalkan produksi dalam negeri lewat berbagai program yang itensif dan hal itu sangat bisa dilakukan karena sumberdaya kita sudah tersedia.

Ironisnya hal tersebut terkendala berbagai kebijakan/regulasi yang kurang adaptif terhadap peningkatan produksi komoditi pangan ini, sehingga para petani menghadapi situasi dilematis. Satu sisi berhadapan dengan produk impor dari segi kwalitas dan harga disisi lain kendala klasik buruknya infrasruktur plus regulasi yang tidak berpihak pada petani. Kementrian dan departemen terkaitpun seakan tiada program dan langkah antisipasi.

Yang memprihatinkan adalah warga miskin akan makin terpukul, karena mereka rata-rata mengeluarkan pos kebutuhan pangan sebesar 73,5% dari total penghasilan mereka.
Klaim pemerintah yang menargetkan pertumbuhan ekonomi APBN tahun ini sebesar 6,4% atau naik sebesar 0,1% dari tahun lalu sebesar 6,3% tak akan berdampak apapun bagi peningkatan kesejahteraan rakyat miskin dan bisa jadi makin bertambah angka kemiskinan di negeri ini.

Bandingkan saja dengan pertumbuhan ekonomi raksasa baru ekonomi asia, negara Cina yang tahun ini diprediksi ‘masih’ mampu tumbuh 10,3 %.

Yang lebih menarik dicermati adalah pernyataan Justiani/Liem Siok Lam, mantan penasehat ekonomi PM Thailand Thaksin Shinawatra akhir bulan lalu dalam seminar yang bertajuk “Pembangunan minus Kesejahteraan”.
Dalam seminar tersebut dia menyatakan bahwa pemerintah masih disetir pihak asing, klaim ‘keberhasilan’ & pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akal-akalan saja. Pola dasarnya adalah dengan cara menurunkan nilai indikatornya. Sehingga dampak pertumbuhan ekonomi bias tidak memangkas angka kemiskinan dan pengangguran.

Program-program pemerintah semisal BLT (Bantuan Langsung Tunai), PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Mandiri), Jankesmas dan sebagainya yang sebenarnya bertujuan menurunkan angka kemiskinan pada realitanya juga akal-akalan pemerintah, program ini hanya untuk membantu ‘orang miskin’ sehingga tak tampak miskin serta merupakan solusi instan dan sesaat dalam menangani akar persoalan.

Yang mengejutkan lagi adalah pernyataannya tentang mantan menteri keuangan Sri Mulyani yang berperan ganda sebagai ’sales’ IMF dan mendapatkan fee 1% dari setiap hutang yang dicairkan lembaga tersebut pada Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4% pada tahun inipun memerlukan kerja keras dan komitment yang tinggi agar bisa mencapai target, pemerintah harus melakukan reformasi birokrasi di berbagai bidang termasuk ‘resuflle’ menteri bila perlu, penegakkan dan kepastian hukum serta pembenahan infrastruktur termasuk sarana transportasi, telekomunikasi, sanitasi dan lainnya.

Bila tidak, target pertumbuhan ekonomi sebesar diatas akan sangat sulit tercapai dan Indonesia akan tergilas dampak ekonomi global.

Yang pada akhirnya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi hanya retorika semata, tanpa ada kontribusi pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Kita juga akan jadi sasaran empuk liberalisasi yang notabene akan makin mengeruk sumber kekayaan alam dari negara kita. Maka inipun juga indikator ‘merah-muda’ sekaligus status awas pada kinerja pemerintah yang terkesan lamban.

( disadur dari : kompas.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar