Rabu, 12 Januari 2011

Negeri Maritim Pengimpor Garam

Zamrud Khatulistiwa adalah sebutan bagi negara kita yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam luar biasa. Ironisnya, hingga kini Indonesia masih mengukuhkan diri sebagai negara pengimpor bahan pangan paling wahid di dunia dengan harus menggelontorkan dana lebih dari Rp50 triliun per tahunnya.

Ya, kondisi potensi alam yang luar biasa ini terutama kekayaan laut, tidak sebanding dengan kondisi kehidupan masyarakat secara umum. Apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepada bangsa ini, belum termanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, kekayaan alam yang besar sering meninabobokkan kita semua.

Negeri yang luas lautnya mencapai 5,8 juta kilometer persegi atau 70 persen dari luas seluruh Indonesia, garis pantai panjang menghampar 95.181 km dan panas matahari melimpah ruah, ternyata setiap tahun negeri maritim seperti Indonesia masih harus mengimpor garam dari negeri tetangga, India dan Australia.


Aneh tetapi nyata, di tengah potensi kekayaan sumber daya besar lautan justru kantong-kantong kemiskinan banyak terletak di permukiman nelayan. Bahkan tatkala sebagian besar petani garam Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, pemerintah malah memilih mengimpor garam dari luar negeri dari pada memberdayakan mereka.

Kebutuhan garam sebagai produk sederhana dan murah yang begitu besar di negeri ini, yaitu mencapai 2,8 juta ton per tahun, ternyata belum mampu mengangkat para petani garam dari garis kemiskinan itu. Impor garam masih jauh lebih banyak dibandingkan produksi lokal, kendati sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai panjang menghampar dan panas matahari melimpah ruah.

Meskipun di lain sisi dipahami bahwa kemiskinan nelayan juga disebabkan oleh faktor lain yaitu secara alamiah seperti kondisi alam yang tak menentu, dan struktural berupa modal, manajemen dan kelembagaan lemah serta secara cultural, yakni rendahnya upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri.

Selain dari itu, kebijakan impor garam yang sering dilakukan pada saat terjadi panen raya, benar-benar memengaruhi harga garam rakyat dan tidak adanya kejelasan kelembagaan juga meperlemah posisi tawar di tingkat petambak garam. Masalah lainnya, petambak garam tidak mengetahui secara pasti spesifikasi teknis mutu garam berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) serta tidak mengetahui patokan harga garam.

Garam yang memanfaatkan air laut sebagai bahan baku utama merupakan komoditas strategis yang dibutuhkan manusia dalam bentuk garam konsumsi, juga industri sebagai bahan baku atau bahan tambahan.

Dalam menuju swasembada garam nasional, terhitung produksi garam di tanah air rata-rata baru 60-70 ton per hectare per tahun (Kemen-KP, 2010). Pada 2009, produksi garam nasional mencapai 1,265 juta ton atau jauh dari kebutuhan garam nasional yang mencapai 2,866 juta ton.

Dari data produksi garam nasional selama lima tahun terakhir, diketahui bahwa produksi garam nasional tidak pernah mencapai angka 1,3 juta ton. Bandingkan Australia yang mampu memproduksi garam rata-rata 250 ton per hektare per tahun.

Hal ini mengakibatkan Indonesia masih membuka impor garam dari luar negeri sebesar 1,5 juta ton per tahun yang jika dirupiahkan mencapai Rp900 miliar per tahunnya. Suatu peristiwa memilukan pada 1997-1998, yaitu kejadian kekurangan cairan infuse di berbagai rumah sakit di negeri ini hanya karena kita tidak memiliki industri garam berkadar NaCl tinggi.

Padahal menurut catatan, Indonesia memiliki luas areal tambak garam sekitar 30.658 hektare yang tersebar di pulau Madura (15.347 ha), Jawa, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Nanggroe Aceh Darussalam.

Strategi atau visi Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kemen-KP) ke depan yakni Indonesia penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia pada 2015 dengan harapan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan pengentasan kemiskinan melalui penguatan kelembagaan dan sumber daya manusia secara terintegrasi,

pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, dan peningkatan produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan, serta perluasan akses pasar domestik dan internasional. Strategi tersebut dengan harapan Departemen Kelautan dan Perikanan berjalan sesuai pilar pembangunan nasional, yaitu pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan pengentasan kemiskinan.

Sebagai negara maritim, mengimpor garam bisa membuat bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim kehilangan jati diri dan memalukan. Oleh karena itu pemerintah harus segera mengambil tindakan. Permasalahan infrastruktur dan fasilitas produksi, teknologi, kelembagaan, modal dan manajemen usaha, regulasi, serta tata niaga perlu dibenahi dengan serius.

Mutu garam yang dihasilkan oleh nelayan kita masih jauh di bawah standar dan pada umumnya harus diolah kembali agar layak dijadikan garam konsumsi maupun untuk garam industri. Sistem penggaraman rakyat yang sampai saat ini dikelola secara tradisional tanpa sentuhan teknologi dengan menggunakan kristalisasi total sehingga produktivitas dan kualitasnya masih rendah,

memiliki rata-rata kadar NaCL (natrium klorida) di bawah 95 persen (kurang dua persen SNI untuk garam konsumsi rumah tangga, industri makanan, industri minyak goreng yang minimal 97 persen. Sementara itu, garam industri perminyakan, tekstil, dan penyamatan kulit setidaknya memiliki kadar NaCl 97,5 persen. Bahkan, garam untuk farmasi harus memiliki kadar NaCl mendekati murni (99,5 persen).

Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam usaha mewujudkan pencapaian target swasembada garam konsumsi pada 2012 dan swasembada garam industri pada 2015, peningkatan produksi garam nasional perlu dilakukan melalui berbagai upaya seperti optimalisasi lahan garam potensial, sentuhan teknologi, pemberdayaan masyarakat petambak garam.

Membangun kemitraan dan memperkuat kapasitas kelembagaan antar-instansi kelautan yang terintegrasi pada elemen-elemen pemerintahan, terutama pada dinas-dinas yang berhubungan langsung dengan sektor pesisir dan kelautan maupun dinas-dinas pemerintahan pada umumnya juga harus ditingkatkan.
( disadur dari : metronews.fajar.co.id )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar