Selasa, 15 Februari 2011

Mesir Tidak Akan Sama dengan Indonesia


Pejabat senior Gedung Putih tengah mempelajari sejumlah revolusi global dan transisi politik yang menjadi tren dan di antaranya dijadikan upaya untuk menumbangkan rezim Hosni Mubarak di Mesir dan mengalihkan kekuasaan secara permanen ke tangan demokrasi.

Badan studi kebijakan luar negeri Presiden AS Barack Obama telah menyurvei transisi di Asia, Eropa, serta Amerika Selatan saat badan ini mempelajari kemungkinan masa depan Mesir menyusul tumbangnya kekuasaan Presiden Hosni Mubarak. Studi yang berangkat dari preseden historis ini berlangsung saat terdapat kekhawatiran di AS bahwa Ikhwanul Muslimin berupaya mengambilalih kekuasaan di Mesir dan menggunakan Republik Islam Iran sebagai kiblat.

Namun, beberapa pejabat dan analis di AS menilai pengalihan kekuasaan di beberapa negara seperti di Indonesia, Cile, serta Korea Selatan kemungkinan akan terjadi di Mesir saat militer di negara ini mempertimbangkan paradigma kekuasaan baru.

"Setiap negara unik dan satu analogi bisa berbahaya," kata Michael McFaul, pakar transisi politik demokrasi yang juga menjabat sebagai direktur Dewan Keamanan Nasional AS untuk urusan Rusia dan Eurasia. Dengan pertimbangan itu, McFaul menerangkan tinjauan historis dari transisi politik pada masa silam dapat memberikan gambaran bagi tantangan yang akan dihadapi Mesir pada masa depan.

Sejumlah analis mempelajari bagaimana beberapa negara merobohkan kekuasaan otoriter serta mengarahkannya ke periode pemerintahan sementara dalam menetapkan konstitusi, institusi, serta pemilihan umum yang demokratis. Namun, dengan adanya ketidakmenentuan kekuasaan di Mesir, masih belum diketahui apakah militer akan menelan evolusi demokrasi seperti yang diharapkan oleh sejumlah negara.

"Bisa saja kita menarik pelajaran dari sejarah selama kita tidak berasumsi nasib Mesir akan sama dengan Indonesia atau akan sama dengan Iran," kata Thomas Carothers, pengamat dari Carnegie Endowment for International Peace. Ketegasan ini disampaikan Thomas Carothers meskipun Indonesia dijadikan model oleh Washington sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim dan memeluk demokrasi setelah melengserkan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.

Obama yang pernah menghabiskan masa kanak-kanaknya selama 4 tahun di Indonesia berpendapat negara yang dinilai sebagai raksasa yang bangkit di Asia ini dapat dijadikan model politik setelah berhasil diubah dari "kekuasaan tangan besi menjadi kekuasaan rakyat." Dalam kunjungannya di Jakarta November tahun lalu, Obama memuji proses pemilihan presiden maupun terbentuknya legislatur serta kedinamisan sosial sipil di Indonesia - skema yang diharapkan Washington terjadi di Mesir.

Namun, terbentuknya demokrasi di Indonesia bukan merupakan satu-satunya contoh untuk dijadikan model. "Kasus peralihan kekuasaan, yang menurut saya sangat menentukan untuk diketahui juga adalah pada penghujung 1980-an di Filipina, Korea Selatan, dan Cile," kata Carothers.

Di Filipina, demokrasi terbentuk setelah pemberontakan yang disusun sipil dan militer berhasil menggulingkan kekuasaan diktator Ferdinand Marcos yang penuh dengan noda korupsi. Pemimpin Cile Augusto Pinochet yang pernah didukung oleh AS dipaksa mundur lewat referendum tahun 1988 yang mengarah ke proses pemilihan umum konstitusional. Sementara di negara sekutu AS, Korea Selatan, demonstran prodemokrasi menumbangkan rezim otoriter militer sehingga membuka jalan bagi terbentuknya pemilihan umum demokratis.

( disadur dari : kompas.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar